Thursday, May 29, 2014
Berkeley Mafia
Mafia Berkeley adalah julukan yang diberikan kepada sekolompok menteri bidang ekonomi dan keuangan yang menentukan kebijakan ekonomi Indonesia pada masa awal pemerintahan Suharto. Mereka disebut mafia karena pemikiranya dianggap sebagai bagian dari rencana CIA untuk membuat Indonesia sebagai boneka Amerika oleh seorang penulis muda Amerika Serikat.
Istilah “Berkeley Mafia” atau Mafia Berkeley pertama kali dicetuskan oleh seorang aktivis-penulis ‘kiri’ AS, David Ransom, dalam sebuah majalah bernama Ramparts, edisi 4 tahun 1970. Istilah ini merujuk pada ekonom-ekonom Indonesia lulusan University of California, Berkeley yang menjadi arsitek utama perekonomian Indonesia pada tahun 1960-an.
Ramparts adalah sebuah majalah yang awalnya terbit sebagai media literatur kelompok Katolik, tetapi belakangan menjadi media kelompok ‘kiri baru.’ Majalah ini sudah berhenti terbit tahun 1975. Dalam artikel tersebut Ransom menghubungkan Mafia Berkeley dengan proyek AS (terutama CIA) untuk menggulingkan Soekarno, melenyapkan pengaruh komunis di Indonesia, mendudukan Soeharto di kekuasaan untuk menjalankan kebijakan politik dan ekonomi yang berorientasi pada Barat, hingga mengaitkan Widjojo dkk. dengan pembantaian massal eks PKI pada akhir tahun 1960-an.
Sebagian besar dari menteri-menteri yang dituduh sebagai Mafia Berkeley adalah lulusan doktor atau master dari University of California at Berkeley pada tahun 1960-an atas bantuan Ford Foundation. Para menteri tersebut sekembalinya dari Amerika Serikat mengajar di Universitas Indonesia. Pemimpin tidak resmi dari kelompok ini ialah Widjojo Nitisastro. Para anggotanya antara lain Emil Salim, Ali Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Dorodjatun Koentjoro-Jakti yang lulus belakangan dari Berkeley kadang-kadang juga dimasukkan sebagai anggota kelompok ini.
Pada pertengahan tahun 1950-an, sebagian besar ekonom yang nantinya disebut sebagai Mafia Berkeley adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Saat itu fakultas dipimpin oleh Sumitro Djojohadikusumo, seorang ekonom yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri serta Menteri Keuangan. Sumitro ketika itu adalah satu-satunya dosen yang memiliki gelar doktor ekonomi. Karenanya ia meminta bantuan kawan-kawan dosen dari Belanda dan dari fakultas lainnya untuk membantu pendidikan mahasiswa FEUI.
Saat tensi antara pemerintah Indonesia dan Belanda sedang tinggi akibat perebutan Irian Barat (sekarang disebut sebagai Papua Barat), para pengajar dari Belanda itu mulai meninggalkan Indonesia. Sumitro meminta bantuan Ford Foundation, yang kemudian memutuskan untuk mengadakan program beasiswa di mana beberapa mahasiswa FEUI dipilih untuk dikirim ke luar negeri dan belajar di University of California, Berkeley. Program ini dimulai pada tahun 1957 dan beberapa tahun kemudian, pada tahun 1960-an, seluruh mahasiswa yang dikirim telah kembali pulang ke Indonesia. Mereka kemudian ditugaskan mengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD).
Pada tahun 1966, Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan di Indonesia dari Presiden Soekarno melalui Supersemar. Meskipun belum menjadi presiden hingga dua tahun berikutnya, Soeharto mulai membangun dasar-dasar pemerintahan yang nantinya akan disebut sebagai rezim Orde Baru. Pada akhir Agustus 1966, Soeharto mengadakan seminar di SESKOAD untuk mendiskusikan masaldah ekonomi dan politik serta bagaimana Orde Baru akan mengatasi permasalahan itu. Ekonom-ekonom FEUI, yang diketuai oleh Widjojo Nitisastro, mengikuti seminar itu.
Dalam seminar, para ekonom mempresentasikan ide mereka serta rekomendasi kebijakan kepada Soeharto. Soeharto kagum akan ide mereka dan dengan cepat meminta mereka untuk bekerja sebagai Tim Ahli di bidang Ekonomi dan Keuangan.
Pada 3 Oktober 1966, atas saran dari para ekonom ini, Soeharto mengumumkan program untuk menstabilisasi dan merehabilitasi ekonomi Indonesia. Pada akhir masa kepemimpinan Soekarno, inflasi di Indonesia secara tak terkendali telah mencapai empat digit dan tumpukan hutang yang besar. Hal ini terjadi karena pemerintahan di bawah Soekarno menghabiskan uang besar-besaran untuk membangun monumen, menasionalisasi industri, dan membiayai defisit anggaran dengan pinjaman luar negeri. Mafia Berkeley memperbaikinya dengan melakukan deregulasi dan berusaha menurunkan inflasi serta menyeimbangkan anggaran.
Efek dari program tersebut berlangsung cepat dengan turunnya tingkat inflasi dari 650% pada tahun 1966 menjadi hanya 13% pada tahun 1969.[7] Rencana itu juga menekankan rehabilitasi infrastruktur dan juga pengembangan di bidang pertanian. Ketika Soeharto akhirnya menjadi presiden pada tahun 1968, Mafia Berkeley segera diberi berbagai jabatan menteri di kabinet Soeharto. Dengan posisi ini, Mafia Berkeley memiliki pengaruh kuat dalam kebijakan ekonomi dan membawa perekonomian Indonesia ke tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi. Pertumbuhan ekonomi terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 6,5 persen per tahun antara tahun 1965 hingga 1997, ketika Asia Tenggara dilanda krisis moneter.
Namun demikian, tidak semua orang menyukai pendekatan liberal yang dijalankan Mafia Berkeley. Dari dalam Order Baru sendiri, mereka menghadapi perlawanan dari para Jenderal seperti Ali Murtopo, Ibnu Sutowo, dan Ali Sadikin yang mengharapkan pendekatan ekonomi yang lebih nasionalistik. Beberapa pihak, seperti Hizbut-Tahrir Indonesia, menganggap Mafia Berkeley sebagai pengkhianat karena langkah privatisasi yang mereka lakukan dinilai sebagai bentuk penjualan aset-aset bangsa. Pada masa kenaikan harga minyak pada tahun 1970-an, Indonesia yang kaya akan cadangan minyak meraup banyak keuntungan. Soeharto mulai berpaling ke kelompok ekonomi nasionalis dan kekuatan Mafia Berkeley pun dikurangi.
Soeharto kembali ke Mafia Berkeley saat pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai terhambat karena turunnya harga minyak di pertengahan tahun 1980-an. Mafia Berkeley sekali lagi melakukan liberalisasi dan deregulasi, sebagai hasilnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali meningkat. Namun sekali lagi, saat perekonomian Indonesia tumbuh, Mafia Berekley menghadapi oposisi politik. Kali ini lawan mereka adalah Sudharmono dan Ginandjar Kartasasmita yang menginginkan nasionalisme ekonomi serta dari BJ Habibie yang menginginkan pengembangan ekonomi berbasis teknologi. Dan seperti yang sebelumnya telah terjadi, Soeharto kembali berpihak pada nasionalis ekonomi dan memperlemah posisi Mafia Berkeley.
Pada masa kehancuran perekonomian Indonesia akibat krisis finansial Asia Tenggara pada tahun 1997, Mafia Berkeley turut dipersalahkan dan dianggap sebagai bagian dari rezim Orde Baru. Pada masa reformasi, hanya Widjojo yang masih dipertahankan di pemerintahan.
—————————-
KEGELISAHAN luar biasa diungkapkan Prof Widjojo Nitisastro PhD. Dia mengkhawatirkan realitas elit politik negerinya yang tak henti dililit konflik. Sementara ekonomi terabaikan yang menyebabkan bangsanya sulit keluar dari kemiskinan setelah 18 tahun merasakan hawa.
Widjojo Nitisastro menganggap pengurusan ekonomi kala Orde Lama lebih mengedepankan semboyan dan slogan yang kedengarannya revolusioner, mementingkan kulitnya daripada isinya, tidak ada kontrol dan pengawasan yang wajar, serta ukuran-ukuran objektif dalam menilai keberhasilan dan kegagalannya.
“Adalah kenyataan bahwa selama bertahun-tahun, ekonomi kita terbengkalai, tidak memperoleh perhatian sebagaimana harusnya. Dalam menghadapi soal-soal ekonomi, seringkali mengabaikan prinsip-prinsip ekonomi yang dianggap tidak perlu, dianggap konvensional,” kritiknya dalam sebuah Simposium bertajuk Kebangkitan Semangat 1966: Menjelajah Tracee Baru di Universitas Indonesia, 6-9 Mei 1966.
Dengan penjelasan yang rasional dan ilmiah, begawan ekonomi Orde Baru yang meraih gelar PhD dari Universitas California di Berkeley itu meyakinkan betapa pentingnya pembangunan ekonomi yang terencana. Dia berbicara tentang rasionalitas ekonomi yang menempatkan pentingnya efisiensi, efektivitas, konsistensi dan pentingnya skema perencanaan pembangunan yang tepat sebagai solusi melepaskan jerat masalah yang dihadapi bangsa ini.
Widjojo Nitisastro adalah seseorang yang membangun ekonomi Orde Baru yang juga diakui dunia internasional. Dia perencana yang memegang disiplin skala prioritas secara konsekuen. Sebagai peletak dasar perencanaan pembangunan Orde Baru yang kala itu dihadapi kendala dana. “Widjojo Nitisastro konsisten menaati skala prioritas tujuan nasional yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Di awal tahun 1960-an, bidang perencanaan pembangunan sangat asing di Indonesia. Belum banyak pula universitas di luar negeri yang memberikan program studi tentang administrasi pembangunan. Bahkan Amerika hanya memiliki beberapa universitas yang sudah memberikan program studi perencanaan. Karenanya, bangsa ini beruntung memiliki Widjojo sebagai arsitek ekonomi yang mencurahkan pemikirannya untuk melahirkan perencanaan pembangunan yang lebih terarah.
“Dalam pemikiran Widjojo, perlu dipelajari secara cermat dan mendalam bagaimana pemerintah dapat menyusun perencanaan pembangunan yang tepat, realistik, dan dapat dilaksanakan secara efektif serta efisien. Tentu saja masalah ini tak mungkin hanya didekati dari sudut ilmu ekonomi saja, tetapi memerlukan pula pendekatan interdisiplin,‘ terang JB Sumarlin, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas (1983-1988) dan Menteri Keuangan (1988-1993) mengenal sosok Widjojo.
Pendekatan rasionalitas ekonomi ini tampak menonjol ketika Widjojo Nitisastro mengajukan sumbangan pikiran FEUI tentang Tracee Baru Kebijakan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan melalui anggota MPRS yang bersidang dalam Tahun 1966. sidang majelis kemudian menetapkan Ketetapan MPRS No XXIII/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.
Kedudukannya sebagai Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan menjadi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri di masa Orde Baru membuka kesempatan memanfaatkan kemampuan analisa ekonominya bagi perencanaan pembangunan Indonesia.
Selama dirinya mengarsiteki pembangunan di era Orde Baru, Widjojo Nitisastro beserta yuniornya antara lain JB Sumarlin, Subroto, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, dan Emil Salim dituding sebagai ‘Mafia Berkeley‘ yang dibentuk CIA. David Ransom, seorang penulis berpaham sosialis, mengungkapkan Widjojo sebagai “kaki tangan” Amerika Serikat untuk menancapkan kepentingannya di Indonesia, termasuk menguatkan pengaruh kapitalisme di Indonesia dengan menyingkirkan rezim Soekarno yang antikapitalisme.
Mafia Berkeley menyusupkan kepentingan kapitalisme dalam Undang-Undang dan rencana pembangunan di Indonesia. Namun, Widjojo Nitisastro tak hanya mengkritik rezim Soekarno. Dia juga mengkritik tajam realitas global yang timpang antarnegara akibat struktur global yang tidak adil–yang berimbas makin akutnya kemiskinan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Widjojo Nitisastro melihat adanya gejala an ever increasing gap antara tingkat pendapatan antara negara maju dengan negara berkembang.
Menurut Emil Salim, Widjojo Nitisastro juga mengkritik realitas global yang kala itu menunjukkan ketidakadilan yang dilakukan negara industri yang menyubsidi produk pertaniannya untuk bersaing dengan hasil pertanian negara berkembang. “Tidaklah adil apabila negara maju memberi bantuan kepada negara berkembang, tetapi serentak mendesak negara berkembang melunasi utangnya, tanpa mengindahkan fakta bahwa nilai tukar dolar, yen atau euro telah berubah lebih tinggi dari semula,” ujar Emil dalam buku berjudul: Pengalaman Pembangunan Indonesia, Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro yang diterbitkan PT Kompas Media Perdana, 2010.
Lembaga-lembaga internasional juga dirasakan diskriminatif terhadap negara-negara berkembang. Padahal, instrumen global seperti The International Monetary Fund (IMF) atau dana moneter internasional dan Bank Dunia (World Bank) awalnya dibentuk untuk menghalangi proteksionisme ekonomi yang dilakukan suatu negara karena bagi para pemuja kapitalisme sebagai penyebab depresi hebat. IMF juga sebagai stabilisator keuangan dan peredaran mata uang untuk memperlancar perdagangan dunia, dan menjadi lembaga penyalur bantuan kredit kepada negara-negara anggotanya.
Namun, IMF dianggap memiliki agenda neoliberal kala investasi diarahkan untuk mendorong ekspor. IMF juga campur tangan mengevaluasi kebijakan domestik sebuah negara dan mengarahkan negara-negara memperlakukan sistem yang sesuai dengan kepentingannya.
Kondisi itu yang mendorong Widjojo memimpin usaha menyusun kekuatan pengimbang, contervailing force, mula-mula dengan pembentukan South Commission (1986-1990) yang kemudian dimantapkan menjadi The South Centre (1990-1999). Di forum internasional, Widjojo memperjuangkan equal level playing field dalam perdagangan antara negara industri dengan negara berkembang.
“Hasrat mengembangkan pola kerja sama sama yang adil dan beradab itu tumbuh setelah Widjojo menangkap gelombang ekonomi dunia dalam dasawarsa 1980-an yang berkembang menurut suatu siklus yang tidak menentu dan merugikan kerja sama antarnegara dalam pembangunan global,” terang Emil Salim yang pernah menjabat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dan Menteri Penertiban Aparatur Negara di era Orde Baru.
Emil mengenal sosok Widjojo sebagai “dirigen” dalam perencanaan pembangunan negara, baik saat memimpin Biro Perancang Negara, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional LIPI, maupun di Bappenas dan saat menjadi Menteri Negara Koordinator Ekonomi dan Keuangan. Jabatan penentu masa depan pembangunan bangsa itu didudukinya dalam usia muda.
Pendekatan rasionalitas ekonomi ini tampak menonjol ketika Widjojo Nitisastro mengajukan sumbangan pikiran FEUI tentang ‘Tracee Baru Kebijakan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan melalui anggota MPRS yang bersidang dalam Tahun 1966. sidang majelis kemudian menetapkan Ketetapan MPRS No XXIII/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.
Saat dirinya menjabat Ketua Bapenas dan menjadi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri di masa Orde Baru, membuka kesempatannya memanfaatkan kemampuan analisa ekonominya bagi perencanaan pembangunan Indonesia. Widjojo juga merintis perombakan ekonomi Indonesia saat menjabat Ketua Tim Ahli Ekonomi, Staf Pribadi Ketua Presidium Kabinet, Jenderal Soeharto, dalam usia 38 tahun.
Widjojo Nitisastro yang lahir tanggal 23 September 1927 di Malang, Jawa Timur dikenal sebagai begawan ekonomi Orde Baru. Ali Wardhana menyebutnya sebagai arsitek ekonomi Orde Baru. “Secara objektif saya harus menjawab: Widjojo (arsitek ekonomi Orde Baru),” terangnya dalam buku Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro. Menteri Keuangan Republik Indonesia (1968-1983) itu mengagumi kekayaan intelektual Widjojo.
Dia juga kagum atas kerendahan hati saat berguru dengan seniornya itu. Prestasinya akademiknya luar biasa. Widjojo lulus cumlaude pada ujian sarjana FE UI (1955) dan ujian PhD Universitas California, Berkeley. Sebagai pengajar, Widjojo mengajar mahasiswanya untuk tidak menjadi “pekerja intelek” seperti yang dikutipnya dari tulisan Paul Baran The Commitment of the Intellectual.
Seorang “pekerja intelek” adalah seorang tukang yang “menjual” otaknya, seperti buruh “menjual” tenaganya. Dengan “menjual otaknya” itu si “pekerja intelek” tidak peduli untuk apa hasil otaknya dipakai. Ia hanya seorang teknisi semata. “Widjojo menolak tipe sarjana sebagai ‘pekerja intelek‘ itu. Yang didambakannya adalah seorang intelektual yang pada asasnya bertindak sebagai hati nurani masyarakat,” ujar Emil.
Jumat, 9 Maret 2012 lalu, arsitek ekonomi Orde Baru yang meletakkan dasar-dasar perencana pembangunan itu mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, di usia 84 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Bangsa ini merasakan kehilangan.
—————
KETIKA kuliah di Universitas Berkeley, California, Amerika Serikat, Widjojo Nitisastro memprakarsai diskusi setiap Sabtu di antara mahasiswa ekonomi Indonesia. “Ada saya, Ali Wardhana, Sumarlin, dan Harun Zain. Kami berdiskusi sesuai dengan kapasitas kami. Harun Zain bicara tentang tenaga kerja, Sumarlin tentang fiskal, dan saya masalah perencanaan,” kata Emil Salim kepada Tempo, 14 Desember 2009. “Jadi Mafia Berkeley bisa ditelusuri dari pertemuan Sabtu ini,” lanjutnya.
Namun, tidak sesederhana itu. Dasar kuat tudingan Mafia Berkeley datang dari tulisan David Ransom berjudul “The Berkeley Mafia and the Indonesia Massacre,” dimuat majalah Rampart, Oktober 1970. Dengan semangat “Neo Kiri”, tulisan yang dipersiapkan selama hampir setahun itu, mencoba “membongkar” campur-tangan Amerika –dan sudah tentu CIA– terhadap kebijakan ekonomi Indonesia.
Sikap Widjojo terhadap tudingan sebagai pemimpin gerombolan Mafia Berkeley, biasa-biasa saja. Di depan publik, dia tidak menyinggung soal itu. Klarifikasi justru datang dari orang-orang dekatnya dan para pengagumnya di kalangan intelektual.
“Tuduhan seperti itu tidak adil, penulis Amerika (David Ransom) tidak pernah hidup dan mengerti kondisi yang ditimbulkan oleh ekonomi terpimpin,” bela Wakil Presiden Boediono, saat memberikan sambutan dalam peluncuran dua buku Widjojo Nitisasto, Pengalaman Pembangunan Indonesia (kumpulan tulisan dan uraian Widjoyo Nitisastro) dan Esai dari 27 Negara Tentang Widjojo Nitisastro pada 14 Januari 2010.
Widjojo lahir di Malang, Jawa Timur, 23 September 1927. Ayahnya, aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra), yang menggerakkan Rukun Tani, underbow Parindra. Ketika pecah perang kemerdekaan, dia baru duduk di kelas I SMT (tingkat SMA), lalu bergabung dengan pasukan pelajar TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Dikenal sebagai anak pemberani yang nyaris gugur pada sebuah pertempuran di daerah Ngaglik dan Gunung Sari, Surabaya.
Usai perang, Widjojo sempat jadi guru di SMP selama tiga tahun. Kemudian kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, meminati bidang demografi. Berkat kecerdasan dan kegigihannya, dia lulus dari FE UI dengan predikat cum laude. Saat mengambil gelar doktor ekonomi di Universitas Berkeley pada 1961, dia muncul sebagai sarjana yang menonjol. Pada 1984, dia menerima penghargaan Elise Walter Haas Award dari Universitas Berkeley. Perhargaan tahunan itu diberikan kepada alumni asing yang jasanya dianggap signifikan. Dan Widjojo menjadi orang Indonesia pertama yang menerimanya.
Widjojo seorang penulis dan peneliti yang mumpuni. Ketika masih menjadi mahasiswa ekonomi UI, bersama seorang ahli dari Kanada Prof. Dr. Nathan Keyfiz, dia menulis buku gemilang, salah satu buku yang amat populer di kalangan mahasiswa ekonomi pada 1950-an. Dalam kata pengantar buku berjudul Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia itu, Mohammad Hatta menyanjung, “Seorang putra Indonesia dengan pengetahuannya mengenai masalah tanah airnya, telah dapat bekerja sama dengan ahli statistik bangsa Kanada. Mengolah buah pemikirannya yang cukup padat dan menuangkannya dalam buku yang berbobot.”
Beberapa karya lain Widjojo, yaitu Population Trends in Indonesia –diadaptasi dari disertasinya, The SocioEconomic Research in a University dan The Role of Research in a University.
Menurut Bradley R. Simpson dalam Economists With Guns, pemikiran dan kebijakan ekonomi Widjojo berorientasi Amerika karena mazhab ekonomi UI condong ke Amerika. Hal ini terjadi berkat Sumitro Djojohadikusumo, dekan FE UI, mantan menteri perdagangan dan menteri keuangan, anggota Partai Sosialis Indonesia dan pendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Meski diasingkan pada 1957, Sumitro menjaga hubungan dekat dengan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan CIA selama Demokrasi Terpimpin, sampai dipanggil kembali ke Indonesia oleh Soeharto pada 1966.
“Para ekonom UI di sekitar Sumitro adalah Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Subroto, Ali Wardhana, dan Emil Salim. Mereka memainkan peran penting dalam menetapkan kebijakan ekonomi Indonesia dan meruntuhkan bangunan Ekonomi Terpimpin Sukarno,” tulis Bradley. Bradley juga mencatat bahwa, “Bagi Widjojo, kepala arsitek kebijakan ekonomi Orde Baru, usaha jajarannya adalah menciptakan ekonomi pasar bebas dan melucuti kontrol negara, sejauh keduanya secara politis bisa dilakukan.”
Widjojo mengabdi kepada dunia pendidikan dan pemerintahan. Di kampus UI, dia menjadi Direktur Lembaga Ekonomi dan Riset UI, guru besar dari 1964 sampai 1993 dan menjabat Dekan FE UI dua periode (1961-1964 dan 1964-1968). Dia juga menjadi dosen Seskoad (sejak 1962) dan Lemhanas (sejak 1964), serta menjadi Direktur Lembaga Ekonomi dan Kebudayaan Nasional (Leknas) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1964-1967).
Pengabdian Widjojo pada negara dimulai pada 1953 sebagai perencana pada Badan Perencanaan Negara. Di usianya yang relatif muda (39 tahun) dia dipercaya sebagai ketua tim penasihat ekonomi presiden Soeharto pada 1966. Setelah jadi ketua Bappenas (1967-1971), dia menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (1971-1973). Kemudian secara berturut-turut, dari 1973 sampai 1983, dia menjadi Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas.
Saat memimpin Bappenas, Widjojo membuat perencanaan ekonomi Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Besarnya peranan dia membuat kebijakan ekonomi sampai melahirkan konsep Widjojonomics, yaitu pandangan bahwa dalam menghadapi kekuatan ekonomi negara maju, negara berkembang hanya bisa memproduksi barang yang unggul secara komparatif, misalnya tekstil dan produk-produk lain yang kurang memiliki kandungan teknologi maju. Pada dekade 1980-an dan 1990-an, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata melaju delapan persen per tahun dianggap sebagai hasil dari Widjojonomics. Bank Dunia pun menyebut Indonesia sebagai One of the Asian Miracles. Pada masa Presiden Habibie, Widjojonomics yang mengandalkan sumber daya alam berhadapan dengan Habibienomics yang mementingkan keunggulan kompetitif dengan mengandalkan sumber daya manusia. (coffee latte)