boykolot

4 out of 5 dentists recommend this WordPress.com site


Leave a comment

puing-puing peradaban

sp


Leave a comment

pemuda hari ini pemimpin masa depan

Kaum Muda dan Proklamasi | Redaksi Indonesia | Jernih - Tajam - Mencerahkan
ri

Perubahan adalah suatu kemestian. Setiap orang mesti menyadari hal itu. Oleh karena perlu regenerasi, maka orang tua perlu mendidik penerus dengan baik.

Seseorang menjadi apapun, ketua, anggota partai, jadi kuli, petugas partai, atau apapun, ia selayaknya menyadari perannya tidak untuk selamanya dan jangan sampai dipaksa mendadak untuk turun dari jabatannya.

Bahkan hidup ini adalah jabatan, sebab jika sudah mati manusia akan disebut mayat.

“Every human being must die,

Sukibul is human,

he must have died too”.

Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan. Itu hukum pergantian. Selayaknya orang-orang yang sudah tua memberikan contoh yang baik dalam ucapan dan perilaku untuk kaum muda, sebagai calon pemimpin di masa depan. Pemimpin dalam hal apa saja. Di dalam rumah tangga, perusahaan, agama, atau politik.

Para pejuang kita dulu telah memberikan contoh yang baik, bagaimana mereka berjuang dan memegang prinsip. Hal itu tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa ini, dan dari sana terlihat siapa pejuang sejati dan siapa penghianat!

30-10-2020

warga biasa


Leave a comment

the present that kills the future

Jual Non Brand Bendera Merah Putih Bahan Drill berkualitas di ...

The present that kills the future. Masa kini yang membunuh masa depan.

Masa kini adalah langkah menuju masa depan. Masa kini tidak lepas dari masa lalu. Oleh karena itu masa lalu harus diingat dan dipelajari untuk menatap masa depan. Itulah manusia yang memiliki kesadaran akan masa lalunya.

Tanpa kesadaran masa lalu (sejarah) mustahil seseorang atau bangsa mampu melangkah dan menatap masa depan.

Jika bangsa ini telah menyatakan merdeka tahun 1945 maka mudah dijumlah angkanya. Tapi jika ditanyakah sudahkah bangsa ini sampai pada tujuan merdeka itu? Atau cita-cita para founding fathers?… Tidak mudah bukan untuk menjawabnya. Itu butuh kajian komprehensip dari para intelektual dan dipahami dengan hati nurani.

Apa tujuan Indonesia merdeka?

Sesuai cita-cita yang tertuang dalam uud 45 dan pancasila.

Jika rakyat masih mendapat intimidasi dan kebebasan menyatakan suara, pendapat dan pikiran apakah itu sebgai negara merdeka?…

Merdeka itu terciptanya keadilan dan kesejahteraan…

Yang selama ini rakyat masih harus berjuang untuk mendapatkannya!!

buitenzorg, 17-8-2020

warga


Leave a comment

“patung pahlawan”

FOTO: Detik-Detik Patung Christopher Columbus Dirobohkan Massa ...
gm

Patung-patung yang dahulu dianggap sebagai pahlawan dalam kolonialisme kini dihancurkan sebagai perlawanan terhadap rasisme. Rasisme yang lekat dengan kolonialisme dan imperialisme Eropa. Wilayah yang mereka jarah demikian luas, Asia, Afrika dan wilayah Amerika selatan.

Awalnya kasus itu dipantik dari sebuah kota Minneapolis di Amerika (kasus G Floyd). Lalu mendapat simpati dari berbagai negara lain dengan demo dan penghancuran ikon pahlawan.

Sejarah mulai dimaknai kembali setelah kasus rasisme di Amerika. Jika ditelusuri rasisme Amerika itu sudah berlangsung lama seiring supremasi kulit putih di negara itu. Terutama ketika Colombus menemukan wilayah itu. Perlahan warga pribumi tersisih dan tenaga kerja dari luar didatangkan sebagai budak-budak.

Perbudakan adalah warisan rezim dari peradaban kuno. Namun, di abad yang disebut modern dipraktekkan juga.

Generasi setelah perang Dunia II mempertanyakan kembali ‘para pahlawan’ kolonial yang dicatat dalam lembar sejarah mereka.

24-6-2020

warga


Leave a comment

memahami sejarah dan prosesnya

Memahami sejarah mestinya sesuai konteks masanya. Dalam sejarah tercatat banyak tokoh besar, namun kebesarannya tentu saja tidak mandiri juga ditopang oleh yang lainnya, mungkin para sahabatnya, pengikutnya atau masyarakatnya.

Sejarah yang berkaitan dengan durasi waktu yang demikian panjang, maka biasanya sejarawan membatasi waktu dan geografisnya, sehingga tidak terlalu melebar dan hanya memotret di lapisan permukaannya saja.

Juga membandingkan tokoh masa lalu dengan tokoh masa kini harus proporsional. Setiap tokoh memiliki peran yang mereka mainkan.

Jika kita melihat tokoh hanya dari popularitas maka yang dipotret hanya itu, soal perannya baik atau jahat tidak jadi soal, sebab yang dibidik popularitas. Namun, ada juga yang lebih melihat pada kualitas dan melihat fenomena hingga ke kedalaman tertentu, mengulitinya dan mengujinya.

Siapakah tokoh itu? Dan dari mana ia mendapat inspirasi atau tokoh itu mengetahui atau mendapatkan informasi tertentu? Adakah peran dari orang lain atau sesuatu kekuatan yang di luar dirinya?

Memahami tokoh sejarah sesuai kapasitasnya.

Nusantara, 18-11-2019

warga biasa

 


Leave a comment

Quotes

“Bukan karena ada di Indonesia, Islam baru mengenal kebhinekaan, ini yang harus diluruskan,”

Prof. Mahfudz MD

 

Berbagai ayat Al-Quran telah menggambarkan bagaimana tentang kebhinekaan (keberagaman) seperti Surat Ar-Ruum 22;

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui,”

QS : Al-Maidah Ayat 8 bagaimana tentang perlakukan sikap adil terhadap kaum apapaun golongannya.


1 Comment

Cinta Indonesia, Bukan Hanya Dalam Kata…

Image result for harian indonesia raya

Siapakah orang yang disebut sebagai cinta Indonesia, bangsa, bahasa dan tanah airnya. Dahulu pada tahun 1928 pernyataan cinta NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dicetuskan oleh para pemuda, beragam suku dan bahasa mereka. Pernyataan itu yang semula dari letupan ide yang kemudian dinyataakan dalam sikap (politik) bersama untuk identitas bangsa ini.

Pernyataan para pemuda itu lalu diperkuat lagi dengan deklarasi kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tahun 1945 (17 Agustus) secara de fakto dan tahun 1949 secara de jure ketika penjajah mengakui bahwa Indonesia menjadi negara berdaulat. (MC Riclefs)

Itulah catatan sejarah.

Lalu dimanakah orang-orang yang mengaku cinta Indonesia dan kebhinekaan ketika itu berada dan bersikap terhadap cengkraman kekuasaan kaum penjajah barat? Siapa sajakah mereka yang telah berjuang? Apa orientasi hati dan pikiran mereka, membela penjajah atau menolaknya?

Mereka ada yang berjuang angkat senjata juga dengan diplomasi. Mereka melawan dengan pena, seperti wartawan dan penulis. Juga ada melalui pendidikan (mandiri). Dan bermacam-macam tapi tentu tujuannya sama, merdeka dan berdaulat!

Saat ini, mereka yang berjuang telah lama wafat, dan tinggal keturunan ke sekian dari para pahlawan itu. Anak biologis para pendahulu belum tentu mewarisi ideologi para pejuang itu, tapi justru malah mengkhianatinya. Lalu jika saat ini ada banyak orang yang mengkalim diri menyintai Indonesia dan kebhinekaan, apakah benar begitu? Bergantung kata atau ucapan, perilaku dan hasilnya apa.

Jika penguasa berjanji, menebar janji tapi penerapan janji itu berlainan, tidak ditepati (ingkar janji) dan bahkan melenceng dari konstitusi negara ini–untuk keadilan dan kesejahteraan–apakah mereka masih dapat disebut sebagai cintai Indonesia (NKRI)? Termasuk individu dan kelompok? Apalagi jika mereka hanya mencari peluang untuk memburu materi termasuk kekuasaan –di belakang layar– bisa dikatakan menyintai Indonesia?

Kita tahu jenis manusia apa kita atau mereka bergantung pada track record dan kelanjutan dari itu (konsistensi)…

Nusantara, 23-1-2017

warga


Leave a comment

Mengenal CSIS, Lembaga Pendukung di belakang ‘Salam Gigit Jari 2’

“But, maybe Benny’s biggest nemesis was Soeharto son-in-law, Prabowo Subianto.”

(Jusuf Wanandi, Shades of Grey, hal. 240)

“Saya menganggap lawan utama Benny adalah Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto.”

(Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru, hal. 327)

Dari hasil debat kemarin rakyat Indonesia bisa menyaksikan bahwa Jusuf Kalla adalah pihak yang mendominasi dan menguasai materi debat sedangkan Jokowi tampak seperti anak kecil yang dalam setiap ada kesulitan selalu mencari perlindungan ke orang tuanya. Sudah sah dan meyakinkan bahwa Jokowi adalah boneka, tapi boneka siapa? Melihat komposisi pendukung Jokowi rata-rata pendukung Benny Moerdani seperti Luhut Panjaitan; AM Hendropriyono, Fahmi Idris, Tempo, The Jakarta Post, dll maka tidak ada kesangsian bahwa Jokowi adalah produk CSIS, yang mana ketika masih hidup, Benny Moerdani adalah anggotanya.

Siapa CSIS dan bagaimana sepak terjangnya sudah sering dibahas mulai dari awal pembentukan sampai tersingkir dari Orde baru sampai ketahuan berniat melakukan revolusi untuk menjatuhkan Presiden Soeharto. Tulisan ini berniat membahas sedikit mengenai organisasi rahasia di belakang Jokowi ini.

Embrio CSIS adalah KAP-Gestapu yang melawan PKI pasca G30S/PKI, dan menariknya dalam salah satu dokumen CIA yang berstatus declassified atau dikeluarkan dari status rahasia sehingga bisa diakses publik diketahui bahwa CIA menyalurkan dana sebesar Rp. 50juta kepada KAP-Gestapu sebagai dana perang melawan PKI. Rp. 50juta untuk ukuran sekarang tentu tidak berarti banyak namun untuk ukuran zaman itu sangat besar, sebagai perbandingan, uang pensiun Bung Hatta sebagai wakil presiden saja perbulannya hanya Rp. 115.000,00/bulan (selengkapnya lihat Surat Bung Hatta kepada Soekarno tanggal 1 Desember 1965).

Yang menarik bukan hanya jumlahnya yang besar, tetapi juga alasan CIA menyalurkan dana perang kepada KAP-Gestapu dan bukan kepada TNI yang juga berjuang melawan PKI, melalui Pangkostrad Mayjend Soekarno misalnya. Kita baru mengerti alasannya ketika mengetahui bahwa pemimpin KAP-Gestapu yaitu Sofjan Wanandi; Jusuf Wanandi; Harry Tjan Silalahi adalah murid Pater Beek, agen CIA di Indonesia yang menerima tugas untuk mempersiapkan kelompok perlawanan terhadap komunis. Selanjutnyanya sejarah mencatat anak-anak KAP-Gestapu berkenalan dengan intel paling unik di Indonesia, Ali Moertopo.

Setelah PKI dikalahkan, anak-anak Kap-Gestapu tersebut bersama Ali Moertopo dan Soedjono Hoermardani membentuk lembaga pemikir (think-tank) yang sekarang dikenal dengan singkatannya saja, CSIS. Pendirian CSIS tentu tidak lepas dari tangan Pater Beek namun untuk alasan yang dapat dimengerti nama Pater Beek tidak pernah muncul secara resmi sampai mantan muridnya George Junus Aditjondro membuka rahasia keterlibatan agen CIA dalam pendirian CSIS.

Dalam perjalanannya nama CSIS sering dicatat berdekatan dengan berbagai kerusuhan dan vandalisme negeri ini, misalnya massa tidak dikenal yang menunggangi aksi mahasiswa pada 15 Januari 1974 adalah massa Guppi yang dilatih oleh Ali Moertopo di gedung CSIS dengan tujuan mendiskriditkan saingannya, Jenderal Soemitro. Nah, ketika dikonfrontir tentu CSIS membantah mereka terlibat Malari 1974 dan sampai saat ini kubu CSIS dan Jenderal Soemitro terus saling tuding tentang siapa yang bersalah dalam Malari.

Sebagaimana dikutip dari Majalah Gatra edisi 31 Januari 1998 sekali lagi tudingan CSIS terlibat tindak teror dan intimidati terjadi kembali tepat 24 tahun plus 3 hari setelah Malari atau tanggal 18 Januari 1998 ketika terjadi ada bom yang salah rakit meledak di Tanah Abang Jakarta, dan penyisiran oleh aparat keamanan di lokasi menemukan dua dokumen yang kembali mengkaitkan personil CSIS dengan teror-teror bom yang melanda Jakarta saat itu, yaitu berupa email dan dokumen notulen rapat di Leuwiliang, Bogor, 14 Januari 1998.

Bunyi email tersebut adalah sebagai berikut:

“Kawan-kawan yang baik! Dana yang diurus oleh Hendardi belum diterima, sehingga kita belum bisa bergerak. Kemarin saya dapat berita dari Alex [Widya Siregar] bahwa Sofjan Wanandi dari Prasetya Mulya akan membantu kita dalam dana, di samping itu bantuan moril dari luar negeri akan diurus oleh Jusuf Wanandi dari CSIS. Jadi kita tidak perlu tergantung kepada dana yang diurus oleh Hendardi untuk gerakan kita selanjutnya.”

Sedangkan dokumen notulen berisi pertemuan orang-orang yang mengaku sebagai “kelompok pro demokrasi” yang berlangsung di Leuwiliang, Bogor, 14 Januari 1998 yang dihadiri oleh 19 aktivis mewakili 9 organisasi terdiri dari kelompok senior dan kelompok junior yang merencanakan revolusi di Indonesia. Adapun yang dimaksud sebagai kelompok senior adalah:

Pertama, CSIS yang bertugas membuat analisis dan menyusun konsep perencanaan aktivitas ke depan.

Kedua, kekuatan militer yang diwakili oleh Benny Moerdani.

Ketiga, kekuatan massa yang pro Megawati Soekarnoputri.

Keempat, kekuatan ekonomi yang dalam hal ini diwakili oleh Sofjan Wanandi dan Yusuf Wanandi.

Sebagaimana dicatat oleh Bill Tarrant dalam bukunya Reporting Indonesia dan Jusuf Wanandi dalam buku Shades of Grey, karena penemuan dokumen tersebut Jusuf dan Sofjan Wanandi sempat dipanggil oleh Zacky Anwar Makarim di Gundur dan di sana Jusuf Wanandi menyatakan bahwa ketika diintrogasi petugas dia menantang bahwa karena dialah Soeharto bisa menjadi presiden kemudian bercerita bagaimana Soeharto menjadi presiden karena dirinya dan kawan-kawannya (Lihat Shades of Grey halaman 274 – 275).

Salah satu pembelaan diri Jusuf Wanandi terkait dokumen Tanah Tinggi tersebut adalah “seseorang” menaruh dokumen dan email untuk memfitnah mereka. Saya berpikir malang sekali nasib mereka, dituduh dalang Malari dan sekarang dituduh mendanai kaum radikal yang bermaksud mengadakan revolusi di Indonesia. Tentu saja mereka bisa saja malang atau memang memiliki hobi menjadi konspirator atau dalang kekacauan di negeri ini. Tapi masa sih mereka sejahat itu, apalagi bila melihat Jusuf, Sofjan dan Harry Tjan memiliki perawakan seperti kakek-kakek ramah.

Baru-baru ini Jusuf Wanandi menerbitkan buku otobiografi yang ditulisnya sendiri dalam bahasa Inggris dan terbitan Equinox, tapi ada juga edisi bahasa Indonesia terbitan Kompas, dan saya membeli keduanya. Buku tersebut memuat beberapa cerita tentang Prabowo Subianto dan sebagaimana umumnya tulisan orang yang dekat dengan Benny Moerdani, maka Jusuf Wanandi juga menulis tentang Prabowo secara sangat negatif, seolah tidak ada baiknya, seolah semuanya buruk. Inti tulisan klik Benny Moerdani memiliki satu tema pokok yaitu: Prabowo bukan manusia, melainkan setan iblis dedemit jahanam berkulit manusia.

Beruntung baru-baru ini saya menemukan Majalah Media Dakwah edisi Februari 1998 yang memberitakan buka puasa bersama tanggal 23 Januari 1998 di Markas Komando Kopassus Cijantung yang dihadiri ribuan Umat Muslim dan berbagai tokoh lintas kalangan, antara lain: Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Ketua MUI KH. Hasan Basri, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Dr Anwar Haryono SH, Ketua BKSPPI KH Cholil Ridwan, Ketua Dewan Pimpinan KISDI KH Abdul Rasyid Abdullah Syafii, Sekretaris Umum Muhammadiyah Dr Watik Pratiknya, Sekretaris Umum Dewan Dakwah Hussein Umar, Ir. AM Luthfie (Forum Ukhuwah Islamiyah), Pengurus PBNU Dr Said Agil Munawwar, KH Ma’ruf Amin, Pangdam Tanjungpura Mayjen Muchdi Pr, Kasdam Jaya Brigjen Sudi Silalahi, Kaskostrad Mayjen TNI Ismet Yuzairi, Mayjen TNI Cholid Ghozali, KH Asep Mausul (Tasikmalaya), KH Abdul Wahid Sahari (Pandeglang), KH Shihabudin (Kotabumi Lampung), Wapemred Majalah Ummat M Syafii Anwar dan Redpel Media Indonesia Bambang Harymurti, Ketua SPSI Bomer Pasaribu, MSc, Dr Laode Kamaluddin, Dr Din Syamsuddin, Dr Jimly Ashiddiqie, Dr Didin Damanhuri, Chairul Umam dan H Rhoma Irama mewakili kalangan seniman.

Bila dilihat dari daftar nama yang hadir, sebenarnya acara di atas biasa saja, sama seperti acara buka bersama yang sering dilakukan beberapa tahun terakhir di Indonesia, tapi memang saat itu peristiwa ini sangat menggemparkan sebab untuk pertama kalinya Kopassus yang sempat dianggap menyeramkan oleh Umat Islam membuka pintu markasnya dan menunjukan sisi kemanusiawian mereka. Mau tahu bagaimana Jusuf Wanandi menggambarkan peristiwa ini?

“…I was thinking, this could go horribly wrong, because you don’t know, once you started using preman, what they would do next. And of course that is exactly what happened two years later, when Prabowo used extrimists to oppose the students. At that time, he had a buka puasa (breaking of the fast) at his place, while he was still commander of Kopassus. Up to 3.000 people came, all of them from the extreme right.”

(Jusuf Wanandi, Shades of Grey hal. 272)

Untuk memastikan pemahaman saya benar, maka saya melakukan komparasi dengan terjemahan di edisi bahasa Indonesianya:

“…Saya merasa situasi ini akan berkembang lebih buruk karena dengan menggunakan preman, tak terbayang apa lagi yang dapat mereka perbuat. Kekhawatiran saya menjadi kenyataan dua tahun kemudian ketika Prabowo mengerahkan kelompok ekstrimis untuk menghadapi mahasiswa. Ketika itu, sebagai Komandan Kopassus, ia [Prabowo] mengadakan acara buka puasa di rumahnya yang dihadiri oleh hampir 3.000 orang yang terdiri dari kelompok garis keras kanan.”

(Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru, hal. 376)

Wow, mengerikan sekali acara buka puasa yang diadakan Prabowo bila membaca bagaimana Jusuf Wanandi memakai istilah “preman”, “ekstrimis” dan “kelompok garis keras kanan” dalam satu paragraf untuk menggambarkan acara buka puasa di Markas Komandan Kopassus tersebut, trifecta! Dengan kata lain Prabowo mengadakan acara buka puasa dengan preman, ekstrimis, kelompok garis keras kanan, di markas Kopassus yang terkenal sebagai pasukan “penculik aktivis” lagi! Siapa tidak ngeri? Saya saja menggigil ketakutan sampai meriang.

Namun begitu, bila kita mencermati nama-nama yang hadir di acara tersebut, rasanya aneh apabila Sjafrie Sjamsoeddin, KH. Hasan Basri, Dr Said Agil Munawwar, KH Ma’ruf Amin, Sudi Silalahi, Bambang Harymurti, Bomer Pasaribu, MSc, Dr Laode Kamaluddin, Dr Din Syamsuddin, Dr Jimly Ashiddiqie, dan H Rhoma Irama dikategorikan sebagai preman, ekstrimis dan kelompok garis keras kanan sesuai deskripsi Jusuf Wanandi bahwa: “all of them from the extreme right” dan “yang terdiri dari kelompok garis keras kanan,” berarti tanpa terkecuali, semua yang hadir di acara Prabowo adalah ekstrimis sayap kanan.

Sekali lagi tanggapan sinis dan minir penuh kebencian dari teman-teman Benny Moerdani terhadap apapun yang dilakukan oleh Prabowo sangat wajar karena Prabowo adalah lawan utama Benny Moerdani, tentu sebagai teman baiknya, Jusuf Wanandi wajib membela teman baiknya. Kendati demikian apa yang ditulis Jusuf Wanandi tentang acara buka puasa yang diadakan Prabowo tentu terhitung fitnah, sebab menceritakan hal yang tidak pernah ada seolah-olah menjadi ada secara negatif dengan tujuan menghantam, mendiskriditkan dan mencemarkan nama baik yang menjadi objek cerita, dalam hal ini Prabowo.

Yang mau saya katakan dengan fitnah di atas adalah ternyata Jusuf Wanandi memiliki kemampuan untuk berdusta dengan wajah tetap lurus dan tanpa merasa berdosa. Pertanyaannya tentu bila Jusuf Wanandi bisa berbohong sekedar untuk mendiskriditkan Prabowo dengan sikap memusuhi, maka kebohongan macam apalagi yang pernah dilakukan Jusuf Wanandi dan teman-temannya di CSIS? Mengenai tidak terlibat dalam Malari’74? Atau tidak terlibat dalam gerakan revolusi 1998? Atau tidak ada hubungan dengan capres boneka bernama Joko Widodo?

Mengapa CSIS dan kelompok Benny Moerdani menciptakan capres boneka bernama Joko Widodo? Karena mereka semua masih mendendam atas tindakan Prabowo yang menghalangi usaha mereka untuk mengurangi pengaruh Islam atau melakukan proses deislamisasi di Indonesia, sehingga sekarang mereka berupaya menghalangi keinginan Prabowo menjadi presiden sekalipun harus mengorbankan Indonesia dengan menempatkan capres tipe “ndak mikir” seperti Jokowi.

(dari berbagai sumber)


Leave a comment

Jenderal Kampret: Korban “Revolusi Mental”

Yunus Yosfiah: Kapolri Jenderal Sutarman Temui Megawati Usai Pencoblon

Letnan Jenderal TNI (Purn) Muhammad Yunus Yosfiah mengatakan, beberapa jam setelah pencoblosan pada Pilpres 9 Juli lalu, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Sutarman dengan membawa dokumen menemui Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. “Ada apa ini? Masyarakat luas harus tahu. Presiden juga harus tahu,” ujar Yunus, seperti diberitakan poskotanews.com.

Yunus juga mengungkapkan, oknum aparat Polri terlibat dalam pilpres alias tidak netral. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengingatkan Polri harus netral.

“Ini sangat mencolok mata, oknum aparat Polri terlibat dalam pilpres. Saatnya pemerintah turun langsung, di bawah presiden ada BIN yang harus menyelidiki,” katanya.

Yunus mengaku banyak menerima laporan dari para mantan kapolda bahwa ada aparat Polri yang terlibat ikut memenangkan capres tertentu. “Semua ini harus diungkapkan dan diketahui jutaan rakyat Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, ia juga mengatakan Jenderal Sutarman adalah orang hukum yang tidak menjunjung hukum. Karena, Sutarman pernah mengatakan agar pihak yang kalah menerima saja. “Ini kan pernyataan orang hukum yang tidak menjunjung hukum,” kata Yunus.

Senada dengan Yunus, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso juga mengatakan ada keterlibatan aparat Polri dalam Pilpres 9 Juli lalu untuk memenangkan pasangan capres-cawapres tertentu. Selain oknum Polri, ada juga keterlibatan pihak asing. Kalau sampai asing terlibat, lanjutnya, berarti kedaulatan negara Indonesia telah terinjak-injak. “Apalagi kata Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam pilpres ini telah terjadi pelanggaran konstitusi. Kalau konstitusi ini dilanggar, lalu ada apa dengan negara ini?” ujarnya.

Djoko menambahkan, pilkada dan pilpres sekarang juga mempertegas adanya kelompok kapitalis yang mendominasi dan berkuasa atas pergantian kekuasaan dari daerah sampai pusat.


1 Comment

Tugas Kaum Intelektual Membela Kebenaran dan Memperjuangkannya!

Hasil gambar untuk kaum intelektual

Hasil gambar untuk intelektual membela  rakyat

Indonesia, 29-10-2014

Sumber:

Golongan Cendikiawan, Ed. M. Tsyarif.

-dll.